Jumat, 12 November 2010

PostHeaderIcon sejarah music indie di indonesia







Industri musik indie muncul di Amerika, sejak tahun 1920an. Di masa itu ada beberapa label-label rekaman kecil, mencoba menandingi label-label besar. Sejarah musik selalu diwarnai oleh terobosan-terobosan baru, pada setiap jamannya. Terobosan-terobosan ini senantiasa berporos pada prinsip menghadirkan tawaran alternative/tandingan (musik dan budaya baru), terhadap budaya mainstream di setiap masanya.
Awal tahun 60an, Elvis Preasley berhasil menggemparkan dunia musik. Elvis sukses merubah paradigma bermusik di Amerika dengan musik rock ‘ rollnya (adaptasi musik blues dan jazz kulit hitam). Pada jaman itu juga, lorong-lorong bawah tanah stasiun kereta (subway) disulap menjadi panggung-panggung pertunjukan oleh para seniman-seniman di Paris, Perancis. (Ady Gembel, Underground Kita Berbeda, Apokalip Web Zine). Para seniman itu mencoba mendekatkan diri langsung dengan massa, menentang pola berkesenian elitis ala seniman mainstream. Bahkan puisi, teater, musik dan produk kesenian lainnya pada massa itu, sarat dengan nuansa kritis. Karena tempat pertunjukannya yang berada di bawah tanah, lahirlah istilah underground.
Perubahan di atas, harus dilihat selaras dengan fenomena sosial yang sedang terjadi. Tahun 50 sampai 60an, adalah masa pemulihan paska perang dunia II dan masa awal perang dingin. Krisis ekonomi menghinggapi hampir semua negara di dunia. Pengiritan sektor industri, menjadikan kelas-kelas pekerja makin jauh dari taraf kesejahteraan. Mendapatkan hiburan seperti opera dan pertunjukan musik klasik, adalah sebuah hal yang mustahil bagi kelas pekerja. Mau tak mau, mereka harus menciptakan alternatif-alternatif hiburannya sendiri. Fenomena underground di Paris, musik alternatif di Amerika (blues, jazz dan rock ‘n roll) serta skin head di Inggris, harus dilihat sebagai bentuk-bentuk alternatif dalam bermusik di jaman itu.
Massa Flower Generation
Selanjutnya dunia masuk dalam masa perang dingin. Pertarungan dua ideologi yang bertolak belakang, menyeret masyarakat dunia dalam perang dingin penuh intrik, persaingan dan konflik. Kejenuhan akan korelasi antara perang dingin dan kehidupan keseharian, melahirkan semangat Do It Yourself (DIY). Semangat DIY menjadi semboyan utama Flower Generation, sebutan buat generasi di pertengahan 60an sampai 70an.
Semangat DIY ini juga diadaptasi dalam dunia musik. Semangat untuk membuat gaya sendiri, label sendiri dan musik sendiri, benar-benar tumbuh di jaman itu. Wajar jika banyak musik-musik alternatif yang ada hari ini, lahir dan berkembang pada era 70an. Sebut saja beberapa genre besar seperti Punk, Rock ‘n Roll, rock, metal, ska, reggae dll.
Sex Pistols adalah salah satu band yang pantas disebut mewakili masa flower generation. Band Punk ini melahirkan lirik-lirik anti kemapanan, juga aksesori nyelenehnya yang kental nuansa kritik sosialnya. Seperti, penggunaan sepatu boot yang merupakan bentuk protes terhadap kekerasan militer dan perang. Lain lagi style rambut mowhawk, yang diadaptasi dari suku-suku Indian. Hal ini, guna menunjukan keberpihakan kepada kaum marjinal (Indian tersingkir, karena kedatangan imigran Eropa di Amerika). Begitu juga dengan aksesori rantai lengkap dengan gembok, yang dipopulerkan Sid Vicious (basis Sex Pistols). Sid mengkritik Kerajaan Inggris dan budaya feodalnya, yang dinilai mengekang kebebasan individu. Puncaknya adalah cover album Sex Pistols yang sangat legendaris, menampilkan sosok Ratu Elizabeth dengan tindikan peniti di hidungnya.
Bukan hanya itu, Woodstock (pagelaran musik) di Amerika pada tahun 1969 mengambil tema ‘make peace not war’. Tema ini adalah bentuk protes terhadap perang Vietnam. Atau lirik fenomenal dari Bob Marley, yang berseru ‘Emancipate your self, from mental slavery’. Inilah deretan bentuk perlawanan flower generation. Bukan hanya sekedar menyuguhkan musik alternatif, tapi juga sarat akan muatan sosial. Selain itu masih banyak band lain, yang kelak menjadi influence band-band di masa setelahnya. Sebut saja Rolling Stones, The Clash, The Ramones, Deep Purple, Led Zeppelin, Black Sabath dll.
Sejarahnya di Indonesia
Musisi Indonesia, banyak mengadopsi budaya barat dalam berkarya. Sebagai negara bagian dunia ketiga, kita memiliki banyak ketertinggalan dalam soal ekonomi dibanding dengan negara-negara maju. Akhirnya musik kelas bawah di belahan utara bumi, diadaptasi oleh kelas menengah di Indonesia. Karena kelas menengah memiliki kesempatan lebih untuk mengintip perkembangan dunia musik luar negeri ketika itu.
Tak heran presiden Soekarno kala itu pernah memenjarakan Koes Ploes, karena musiknya dituduh identik dengan budaya kapitalisme internasional. Soekarno dengan padangan politiknya melihat musik Koes Ploes, bukan hal yang penting bagi kelas bawah di Indonesia. Koes Plues juga tak salah jika mengadaptasi musik yang menurut mereka mengekspresikan kebebasan.
Pada tahun 70an perkembangan musik di belahan utara bumi melaju cepat, memacu juga perkembangan musik di tanah air. Guruh Gipsy, Gang Pegangsaan, Good Bless, Giant Step, Super Kid, The Rollies, dll adalah sederet nama yang bisa disebut sebagai peletak fondasi musik Indonesia pada masa kontemporer. Secara musikalitas mereka adalah maestro-maestro dunia musik Indonesia. Mereka juga mempopulerkan semangat kemerdekaan (baca indie), dalam berkarya. Walau pada jaman itu belum ada manajeman musik yang cukup bagus, tapi dengan pengalaman seadanya mereka mulai bekerja sama membangun jaringan. Hal itu dilakukan guna meluaskan musik mereka. Tercatat pula majalah Aktuil, banyak membantu perkembangan musik pada masa 70an. Melalui tulisan dan peran aktif individu-individu di dalamnya, Aktuil mempromosikan band-band pada jaman itu.
Tetapi isu-isu sosial belum dianggap penting, untuk dibicarakan dalam lirik-lirik mereka. Kalopun ada, belum menjadi sesuatu yang dominan. Bahkan beberapa grup band (utamanya rock), masih suka memainkan karya-karya band luar negri. Ekspresi kemerdekaan akhirnya hanya menjadi penghias keseharian, gaya hidup bebas ala musisi rock pun menjadi pilihan mereka.
Pada periode 1990an, perkembangan musik underground semakin pesat. Booming Sepultura dan Metalica, menginfluence anak-anak muda Indonesia. Berhadapan dengan industri mainstream yang didominasi oleh rock melayu, artis wanita dll, maka jalur underground-lah yang dipilih. Dengan berbasiskan komunitas serta mengandalkan fanzine (bulletin-buletin), budaya underground semakin meluas. Dimulailah pembangunan secene-scene musik alternative, di masa itu.
Kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta, Surabaya, Malang dan Jogjakarta, menjadi tempat berkembangnya komunitas-komunitas underground. Pada massa itu musik metal menjadi sebuah suguhan altenatif. Selain itu banyak band, mulai berani berekspresi dengan menempatkan isu-isu sosial dalam lirik-liriknya.
PAS band memulai tradisi merilis album secara indie. Album mereka, “from toght with S.A.P” terjual lebih dari 5000 copy. Selanjutnya banyak band metal dan rock lain, memakai metode indie. Tercatat nama-nama seperti Pupen, Koil, Burger Kill, Rotten to The cure dll di masa-masa awal, perkembangan musik Indie kontemporer Indonesia.
Ada sekian banyak album, termasuk album-album kompilasi yang dirilis bersama oleh band-band pada jaman itu. Mereka terbantukan dengan pembangunan komunitas-komunitas musik. Begitu juga dengan fanzine (bulletin), yang berfungsi untuk mempromosikan hasil karya mereka. Panggung-panggung kecil juga kerap digelar di kafe-kafe. Hal ini selaras dengan pembangunan industri kreatif kaum muda lainnya, seperti clothing dan distro.
Istilah Indie, baru populer di pertengahan tahun 1990an. Awalnya Indonesia lebih mengenal istilah underground bagi musik yang ‘lari’ dari trend budaya mainstream. Perkembangan musik luar yang menghasilkan beberapa varian-varian baru seperti grunge, brit pop, hip-hop, melodic punk dll. Hal ini menyeret anak-anak muda Indonesia pada sekian banyak pilihan bermusik. Selanjutnya di kota-kota besar, banyak bermunculan band-band serta komunitas-komunitas dengan varian musik yang beragam. Sejak saat itu istilah underground mulai digantikan dengan istilah Indie. Mungkin istilah underground, dirasa terlalu identik dengan musik metal. Maka istilah indie dengan kesan yang lebih modern, mulai lazim di gunakan.
Pure Saturday, menjadi pionir band-band dengan aliran selain metal yang membuat album rekaman sendiri. Grup band ini tercatat mencetak album pertamanya pada tahun 1995, dengan tajuk ‘Not A Pup E.P’. Keberhasilan mencetak album ini lantas diikuti oleh sederet nama lain seperti Waiting Room, Pestol Aer, Toilet Sound dll.
Selanjutnya booming Indie semakin menjadi, ketika Moka (band Swing Pop asal Bandung) sukes menembus angka di atas 100.000 copy dalam penjualan kaset mereka. Keberhasilan Moka, turut membawa dampak bagi perkembangan musik indie. Selanjutnya deretan nama seperti Puppen, Shagy Dog, Superman Is Dead, Rocket Rockers, Superglad dll, mencuri perhatian para penikmat musik.
Bahkan beberapa nama di atas, mendapat kontrak dari label-label rekaman besar. Kontrak ini, sempat menjadi perdebatan di scene-scene Indie. Sebagian dari para scenester, menganggap hal ini sebagai pengkhianatan terhadap idealisme independent. Sebagian lagi menganggap ini, sebagai peluang memperkenalkan musik mereka secara massal.
Terlepas dari perdebatan-perdebatan tersebut, musik Indie tetap mendapatkan tempat di dunia musik Indonesia. Beberapa band seperti The S.I.G.I.T, The Upstairs, The Brandals, The Milo, Bangku Taman, Efek Rumah Kaca, Teenage Dead Star, Seek Six Sick, The Adams, White Shoes And The Couple Company, Goodnight Electric dll, mendapatkan tempatnya di hati para penikmat musik. Terakhir delapan album rilisan band dan label indie, masuk dalam jajaran 20 album terbaik versi Rolling Stone tahun 2008. Ini membuktikan bahwa kualitas musik band-band Indie di Indonesia sangat baik. Karena mampu bersaing dengan karya band dan label besar (baca : mainstream).
Bahkan dalam hal penyebaran karya, mereka sangat maju. Ketika industi musik mainstream berteriak soal bajakan, beberapa band Indie di Indonesia dengan bangga membagi-bagikan cd album mereka secara gratis. Metode yang bertolak belakang dengan keinginan para produser musik mainstream.
KOIL merilis album “Black Shines On”, membagikannya sebagai bonus majalah Rolling Stone Indonesia. Langkah ini diikuti oleh Naif dan Rosewood. Sebelumnya The Upstairs, melepas lagu mereka secara gratis lewat situs my Space. Langkah ini meniru band-band luar negeri (Radiohead, Coldplay dan Metalica).
Semangat-semangat perlawanan juga masih terdengar dalam lirik-lirik band indie di Indonesia. Terakhir kita dengar Efek Rumah Kaca yang lugas dalam merekam realitas sosial. Lagu ‘Di Udara’ misalnya, bercerita soal kematian Munir. Selanjutnya ada ‘Cinta Melulu’, yang mengkritik soal budaya latah musisi Indonesia dalam membuat lirik-lirik lagu cinta. Hits lainnya ‘Jalang’, mengkritik kebijakan UU Pornografi dan Pornoaksi. (Kompas, 3 September 2008)
Ras Muhammad dengan musik reggaenya, pantas juga di sebut sebagai musisi indie yang concern berbicara soal realitas-realitas sosial. Belum lagi jika menyebut beberapa band Punk seperti Marjinal dan Bunga Hitam, yang hampir setiap lirik lagunya berbau kritik sosial. Hal yang sama juga masih dilakukan oleh band-band lain, seperti Burger Kill, KOIL, Seringai, Komunal dll. Untuk band-band seperti ini, kita pantas mengucap salut. Mereka benar-benar mengadopsi idealisme Indie dalam bermusik. Idealisme yang bukan hanya sekedar di maknai dalam proses distribusi dan produksi kaset/cd, tapi juga dalam karya mereka yang jujur dalam merekam realistas sosial.
Tantangan Musik Indie
Ada beberapa tantangan nyata bagi musik Indie. Pertama adalah komoditifikasi indie. Banyak perusahan laba, menangkap booming indie dan sekedar memanfaatkannya sebagai alat promosi. Tak ada salahnya untuk sekedar bekerja sama, selama prinsip-prinsip indie tetap di tampilkan dalam setiap event. Menjadi salah jika prinsip-prinsip itu tak lagi diperhatikan.
Contoh kasus sering muncul acara-acara seperti festival musik indie. Padahal menurut hemat penulis, musik indie muncul bukan untuk diperlombakan. Karena ketika dia perlombakan akan ada pembatasan-pembatasan dalam berekspresi, akhirnya kesubjektifan tim penilai yang menjadi penentunya.
Seharusnya penentu utama dalam musik indie adalah para musisi itu sendiri. Hal tadi sesuai dengan semangat Do It Yourself, yang dikibarkan oleh flower generation. Bentuk event yang seharusnya di lakukan adalah bentuk-bentuk pagelaran musik, tanpa nuansa kompetisi. Event yang dicreate dengan semangat kolektif dan berbasiskan kerjasama antar komunitas-lah, yang seharusnya dibuat oleh para pelaku musik indie. Event seperti ini bisa menjadi ajang promosi karya band-band indie.
Tantangan yang kedua adalah kekonsisitenan dalam memunculkan budaya tandingan (counter culture). Sejarah musik selalu diwarnai dengan benturan-benturan antara budaya mainstream dan budaya tandingan. Indie sendiri adalah sikap atau idealisme yang sangat identik dengan budaya tandingan. Menjadi sangat di sayangkan jika produk-produk musik yang berasal (atau mengaku) dari dunia indie, menjadi serupa dengan produk budaya mainstream.
Saat ini kita dihadirkan band pop menye-menye ala ST 12, Kangen Band dkk. Sebaiknya mereka yang memilih musik indie (sebagai jalur bermusik), menghasilkan produk yang berbeda dengan band-band mainstream tersebut. Sehingga bukan hanya jalur indie yang membedakan, tapi hasil karya juga membedakannya.
Yang harus diwaspadai adalah munculnya generasi baru, dengan cekokan lirik ‘cinta melulu’ ala band pop menye-menye. Sangat di sayangkan jika generasi ini, menjadi terpisahkan dengan realitas-realitas sosial di sekitarnya. Bukankah aneh jika jalur indie yang pada pembangunannya tidak terlepas dari konstruksi-konstruksi sosial di sekitarnya, malah makin menjauh dari realitas sosial.
Kunci kesuksesan band-band di era 70an adalah nalar eksplorasi musik yang tinggi, sehingga bisa menciptakan berbagai genre. Selain itu mereka mampu meramu lirik, yang berasal dari pengalaman pribadi dan konteks-konteks sosial di sekitarnya. Sebaiknya tradisi-tradisi untuk berempati, peduli, berkolektif dan sederet budaya positif lainnya harus direkam dalam lirik-lirik musik Indie. Semangat menciptakan atau mengeksplorasi hal-hal baru dalam bermusik, juga harus dipelihara oleh musisi-musisi indie. Sehingga generasi yang kelak muncul, sudah terbiasa dengan tawaran-tawaran alternatif dalam bermusik sejak dini.
Kedua tantangan tadi yang harus terus menerus dijawab oleh musisi indie pada masa kini. Sehingga semangat memunculkan budaya tandingan (counter culture), yang merupakan basis utama pembentukan jalur Indie tetap terjaga. Akhirul Kallam, Support Your Local Indie Movement…!!!

0 komentar:

Posting Komentar

Adsense Indonesia
Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Friends

Contact Me